Aku
Satu dari sejuta tangan itu bergerak dari diam. Kemudian mengais debu yang bertebangan diterpa angin. Dilatari jingga yang menghalau mata, menyipit pelan. Disana aku terpesona dengan wajah itu. Menantang langit yang sepi dengan wajah tajam dan tegar. Shutter kutekan cepat. Aku tak boleh kehilangan wajah itu. Harus kuabadikan.
Wajah kecil itu menoleh pelan menyadariku. Kemudian mendekatiku dan tersenyum.
”Boleh lihat?” tanyanya polos sambil menunjuk benda kotak hitam yang kubawa.
”Tentu, boleh,” jawabku. Kuserahkan kameraku, tangannya terlalu kecil untuk menerima kamera itu.
”Ini apa kak?” tanyanya lagi. Menunjuk berbagai tombol disana. Aku mendekatinya dengan berjongkok dan menjelaskan satu satu.
Dia
Kakak dihadapanku ini siapa? Tampaknya reporter atau wartawan. Sudah sering aku lihat orang yang membawa kotak kamera seperti dirinya. Sama. Apa dia mau mengabadikan ? semua yang terjadi di tanah ini?
Aku mencoba memencet semua tombol. Penasaran. Tiba tiba layar kecil disana menyala. Dan kulihat satu foto indah disana. Kupicingkan mata. Aku kenal sosok itu. Akukah?
”Ini aku, kak?” tanyaku polos. Sambil menunjuk layar itu. Kakak itu mengangguk. Oh, aku benar ternyata.
”Adik, cantik sekali,” pujinya membuatku malu dan tersipu. Kupencet tobol arah kiri, disana ada foto lain. Yang membuatku bungkam. Kampungku. Kini ditutup debu dan sepi. Meski foto ini bisu, tapi ia berbicara jelas dimataku. Kini kampungku mati.
“Kakak? Ini kampungku,” ucapku meceritakan sedikit.
“Iyakah?” tanyanya simpati sepertinya. Kujawab mengangguk.
“Abu abu yah,” gumamku melihat semua debu menutup permukaan disana. Kakak itu sekali lagi hanya menganggu sepertiku.
“Disini aku kenal tempat ini. Biasa main petak umpek sama temen temen,” gumamku rindu. Ah, tempat bermainku hilang. Kulihat wajah kakak, dia sepertinya tertular perasaanku. Wajahnya sendu menatap foto itu.
“Kakak darimana?” tanyaku. Dan mengembalikan kotak hitam ditangan kecilku.
”Malang,” jawabnya.
”Jauh yah itu?” tanyaku tidak mengenal tempat itu.
”Iya, lumayan jauh,” jawabnya sambil tersenyum.
”Lalu? Di sini mau ambil foto?” tanyaku lagi. Kaka itu diam sebentar dan tersenyum.
”Nggak juga,” katanya membuatku bingung.
”Terus?” kemudian dia berdiri wajahnya jadi jauh. Dia lebih tinggi dariku.
”Hanya pulang kampung. Menegok tanah lama,” jawabnya. Aku tidak terlalu mengeri. Tapi kalau pulang kampung berarti dia dari sini?
”kakak asli sini?” aku bersemangat.
”Iya,” jawabnya singkat dan pait pergi meninggalkanku mengikuti teman teman yang lain. Padahal, aku ingin banyak bertanya.
Aku
Anak itu menarik. Dia dari kampung yang sama denganku ternyata. Ah, ketika dia sedih aku jadi ingat cerita lama. Aku juga suka bermain disana. Bersama teman teman kampung. Sudah lama, tak teritung betapa aku mengenal tanah itu.
”Ka!” panggil temanku. Wajahnya sudah tertutup masker hanya sepasang matanya yang bisa kulihat dan kenali.
”Ayo, kita ikut rombongan. Katanya aktifitas siang ini nggal terlalu tinggi. Jadi lumayan aman,” ajaknya dan aku dengan langkah pasti mengikutinya.
Mobil pick up sudah sampai menjemput kami. Dan kami pun pergi menyusuri jalan berdebu. Yang begitu jauh. Jalan begitu sepi. Jalan kehilangan hidupnya. Kampung telah tamat ceritanya. Mereka bisu dan diam. Sepi tertinggal. Jalanan terasa lebih jauh daripada dulu ketika aku kesini. Sangat berbeda.
Terakhir kali aku disini tengah bertengkar aku dengan Ayah. Dia memarahiku karena tak mau meneruskan menggarap tanah ini. Karena kamera ditanganku telah memanggilku duluan daripada tanah ini. Karena aku lebih tertarik mengabadikan semua kejadian. Ketimbang mengurus tanah ini. Kami melewati berbagi pohon kering yang gugur daunnya. Kami melewati banyak tumbuhan yang kehilangan hijaunya. Tapi kami tak menemui suara alam yang mengalun bersama burung ketika sama seperti dulu. Aku pulang diatas pick up memotret semuanya. Keindahan tanah ini.
Dia
Ah, kakak itu pergi. Di bawa mobil bersama teman temannya. Kembali aku mancari yang lain. Teman temanku meninggalkanku, sudah lama. Karena aku hanyalah pengganggu buat mereka. Benarkah? Aku memang tidak pernah bermain. Aku dulu terlalu sombong. Membanggakan sapi sapi yang merumput disawah hijau. Membanggakan hijaunya sayur mayur yang ada di tanah sawahku. Hingga kadang memandang rendah meraka. Hingga jauh aku tak bersama mereka.
Aku berlari ke dalam tenda. Meringkuk bersama yang lainnya. Yang hanya bisa meratap nasib yang sama. Kembali aku memikirkan sapi sapiku. Mereka mati trekena wedhus gembel. Bukan hanya sapi sapiku. Tapi juga ayah dan ibu.
Foto yang tadi mengingatkanku tempat bermain. Tapi aku berbohong. Bukan aku yang bermain. Tapi yang lain. Aku hanya akan jadi penonton. Selalu hanya menjadi penonton.
Siapa yang akan mengurusku nanti? Aku hanya sendiri. Tapi aku merasa ada benang di tangan ini. Yang menghubungkan takdir. Dimana aku tak akan merasa sendiri.
Aku
Ternyata semuanya lebih parah dari yang kubayangkan. Tumbuhan mati, padahal semuanya belum sempat dipanen. Bangkai sapi yang membusuk dan penuh belatung berjajar dibelakang rumah. penghuni terakhir, bisa kusebut demikan mereka. Matanya terbuka, menjadi saksi bisu dimana tanah ini mati.
Shutterku lebih sering kutekan. Harus kuabadikan semua ini. Menjadi potongan kisah dalam kehidupan pertiwi. Yang kian hari kian letih karena menangis. Kupotret sebanyak yang kubisa. Dari semua sudut yang ada. Yang bercerita, meski telah tak ada.
Aku terlena dengan suara shutter tak menyadari suara kontak milik pemimpin regu kami berdenging tinggi. Waktu kami habis. Aktifitas mulai meninggi. Letusan masih bisa terjadi sewaktu waktu. Dan mengambil nyawa kami, sewaktu waktu.
Dia
Aku menunggu kakak itu kembali. Orang orang saling memanggil disini. Mereka berteriak untuk hati hati. Bukankah kami sudah aman disini. Tapi tidak, sepertinya Tuhan akan marah kembali. Semua menatap jalan, menanti pick up- pick up yang tadi pergi. Berharap selamat. Berharap kembali. Aku berdoa, aku memang sombong. Aku memang banyak punya salah.
Tapi kakak ini yang tengah menengok kampung halaman. Tolonglah, biarkan mereka kembali. Karena aku merasa ada benang bertaut disana yang mungkin akan menyelamatkan aku dari kesendirian.
Aku
Kami cepatkan mobil. Suara kontak terdengar lebih berdenging keras. Kami takut, jarak masih lumayan jauh sempatkah? Sempatkah? Aku diam, mulai kubuka kameraku. Kembali menekan shutter berkali kali. Disana asap masih berjalan pelan, pelan-pelan. Aku berpikir sambil menekan shutterku.
Seperti inikah perasaan mereka. Bertanya tanya, sempatkah? Sempatkah? Sempatkah menyelamatkan hidup? Berdoa? Dan berdoa? Berharap selamat dari maut? Seperti rasanya, terhimpit kekuasaan yang tidak bisa diabaikan. Jariku bergetar , debu semakin dekat. Pelan, bukan, tidak pelan, ternyata lebih cepat darpada yang kukira.
”Kita tidak apa-apa?” tanyaku kepada Ryan. Matanya hanya berkedip seperti menjawab tenanglah. Tanganku berhenti, dan aku diam. Memilih berdoa. Berharap Tuhan memberikan akhir yang berbeda.
Dia
Aku was was. Kulihat kepulan disana tengah berkumpul. Dari jauh tampak biasa. Tapi karena itu pula ayah, ibu, sapi sapiku, mati. Aku takut, kakak itu akan sama nasibnya? Tangan kugenggam erat. Ketakutan dan tak ingin tahu kenyataan pahit.
Satu, dua, tiga ...... tiga puluh kuhitung dalam hati. Mataku masih kututup. Tidak berani menerima kenyataan apa- apa.
”Adik?” aku menoleh. Kulihat wajahnya dan kupeluk.
Aku
Dia? Menungguku? Kenapa memelukku? Kulihat tangan kecilnya hanya bisa merangkul hingga pahaku.
”Kakak, syukur kakak selamat,” ucapnya. Suaranya benar benar mengisyaratkan lega yang luar biasa.
”Kenapa? Kamu kan nggak kenal kakak?” tanyaku heran.
”Karena aku sudah tidak punya siapapun yang bisa dikhawatirkan. Kalau bisa, aku juga ingin memeluk Bapak, dan mengucap hal yang sama kak,” jawabnya.
Kini kulihat lagi mata yang sama. Dengan tatapan yang berbeda. Lagi lagi aku terpesona untuk yang kedua. Di hatiku aku entah kenapa memutuskan semua. Menggantikan rasa salahku meninggalkan tanah ini hingga mati. Bolehkah aku? Merawat tangan kecil ini. Yang merengkuh erat.
Aku dan Dia
Meninggalkan tanah abu ini. Mencoba menggenggam erat tangan satu sama lain. Yang satu ingin menggapai mimpi. Dan yang satu ingin melindungi, merawatnya. Mereka kembali berdoa, semoga kali ini semua baik baik saja.
No comments:
Post a Comment