Friday, March 4, 2011

Jiwa di Balik Debu

“Bukankah ini semua tidak berarti?” Tanya Fatma.
            Rumi hanya memandang kotak ditangannya. Kemudian kembali memandang Fatma.
            “Fat, bagi Rumi kotak ini berharga. Punya banyak arti buat Rumi.” jawab Rumi.
            “Apa isinya?” Tanya fatma.
            “Sesuatu yang kusebut buku harian dan sebuah rahasia,” jawab Rumi.
***
            “Ana! Sudah berapa kali kamu terlambat hah?” Tanya Bu Enik.
            Ana cuma bisa menutup mulut dan matanya. Berharap jika dia diam semua akan baik-baik saja.
            “Baiklah sebagai hukumannya kamu harus membantu petugas perpustakaan selama seminggu!”
            Seketika itu mata Ana yang hanya diam memelik. Seakan tak percaya apa yang menimpanya.
***
            “hatching!”
            Debu-debu melayang dengan liar. Menggelitik hidung Ana yang tengah membersihkan buku-buku lama.
            ‘Argh! Kenapa aku harus di sini? Bersama buku-buku usang seperti ini? aku memang kurang beruntung hari ini!’ batin Ana.
            Ketika tengah memersihkan buku, suara bel membuat ana bersemangat mengemasi barangnya. Segera ia beralih dari rak menuju meja tempat tas dan buku bukunya berserakan. Tanpa memperhatikan buku buku yang di ambilnya dia segera kembali pulang, mungkin bau buku sudah membuatnya mual.
***
            “Ahhhh….  Capek banget!!!!! Jadi pengurus perpus? Apa enggak salah tuh? Bisa gila aku! Aku kan cuma doyan komik!” gerutu Ana. Setelah berdiam diri, mungkin sudah lelah untuk menggerutu. Ana mengahmpiri mejanya, membongkar isi tasnya. Ketika mulai mengembalikan kembali bukunya ke rak, Ana melihat buku asing yang tiba-tiba ada didalam tasnya.
            “Apa ini?” gumam Ana.
            Bingung dengan yang di lihatnya. Buku usang seperti itu rasanya tak pernah dia miliki.
Sepeti selayaknya seseorang yang penasaran, dia membuka buku itu. Dengan cuek di bacanya halaman pertama. Hingga tak terasa Ana sudah terlarut membaca buku itu. Entah apa yang membuatya tertarik dengan buku usang tua itu.
            Terang bulan temani malam ana. Membaca kisah yang tak sengaja bisa sampai di tangannya.
***
            Ana bergegas ke perpustakaan. Mulai mencoba terbiasa dengan kegiatan yang akan hampir menjadi rutinitasnya. Mencoba akrab dengan debu debu di sana. Padahal Ana juga tak suka dengan itu semua.
            Ketika semua tugasnya sudah selesai, Ana membuka buku usang yang ditemukannya. Membaca halaman yang kemarin sepertinya tak sempat diselesaikannya. Sungguh aneh melihat pemandangan seperti itu. Seorang Ana memegang buku usang. Karena sehari harinya teman teman Ana hanya melihat Ana membaca komik atau novel. Teman teman Ana sering menyinggahiya di perpustakaan.
            “Ana? Kok betah sih? Bersih bersih sambil baca gituan? Aduh! Bukan Ana banget kali! Kamu kenapa sih? Abis kesambet di mana?” Tanya Ria teman dekat Ana.
            Ana dengan santai menjawab,“ Ri, enggak usah lihat pantes apa enggaknya kali! Ini biar aku kerasan aja di sini. Aku juga sebenernya enggak doyan  di suruh di sini. Tapi mau gimana lagi? Di jalanin aja..”  jawab Ana.
            Ria pun tidak menggubris, dia meninggalkan Ana di dalam perpustaakaaan. Lama –lama pemandangan seperti ini pun sudah biasa. Dan juga semakin lama Ana membaca buku itu  Ana semakin terlarut dengan kisah yang tak sengaja ditemuinya itu. Sewajarnyalah dia penasaran, bertanya tanya milik siapakah buku ini.
***
            Malam ini  sudah genap enam hari Ana membaca buku itu. Selama enam hari itu juga lah tugas sebagai penjaga perpustakaan dia jalani. Besok adalah hari terakhir Ana menjalani hukumannya. Tapi ada beberapa hal yang membuat Ana enggan meninggalkan hukumannya. Karena ada teka teki di hadapannya.
1.     Ada rahasia yang ingin diungkapkan Ana
2.     Buku usang itu diary *catatan: buku itu sangat menarik untuk di baca (menurut Ana)*
3.     buku itulah teka tekinya dan ada yang harus di temukan ana
Di bukanya kembali buku usang itu. Warna hitam pudar tinta yang tergores di atas kertas putih kusam. Dan tertulis jelas di bagian belakang buku itu “Rumi Ningsih”. Mungkin atau siapa lagi kalu bukan itu nama pemilik buku diary itu.
Perpustakaan sekolah Ana memang sudah ada sejak lama. Sama seperti sekolahnya. Sekolah Ana merupakan salah satu sekolah yang masih memiliki bangunan asli peninggalan zaman belanda dahulu.  Tak luput juga di sana mungkin sudah banyak kenangan yang terjadi. Dan salah satu cerita sampai di tangan Ana. Cerita lama yang mungkin masih ada yang menunggu akhirnya. Sehingga Ana benar benar enggan meninggalkan perpustakaan.
***
Ana sedang bingung sekarang. Memikirkan alasan apa yang pantas untuk menambah hukumannya itu. Pagi ini dengan sengaja Ana bangun siang. Agar telat maksudnya, di tengah jalan, Ana  masih berjalan dengan pelan meski sudah tahu bahwa dia telat. Ana sampai sekolah dengan catatan telat hampir satu jam. SATU jam?! Benar -benar sudah di rencanakan dengan terlalu oleh Ana. Sehingga sudah tidak diragukan lagi, Bu Enik dengan sangat lancarnya memarahi dan berceloteh di hadapan Ana. Sedangkan Ana yang sudah benar benar siap dengan keadaan itu sejak awal sudah memakai mp3 di telinganya. Berharap lagu lagu itu bisa membawanya lebih tenang. Dan menyelamatkan gendang telinganya dari kerusakan. Akhirnya setelah lama menunggu kata-kata ultimatum hukuman pun keluar dari mulut Bu Enik.
“Kamu sudah keterlaluan kali ini! telat satu jam? Kamu pikir ini bisa di maafkan dengan hukuman satu minggu saja? Kamu harus membantu seluruh petugas perpustakaan! Bukan hanya seminggu tapi sebulan!”
Ana yang memang sudah siap dengan itu semua hanya memasang wajah pasrah yang dibuat buat. Dalam hatinya mungkin sudah banyak suara suara bahagia yang di sorakkan.
***
Ria sekarang dalam keadaan bertanya tanya. Apa yang terjadi pada teman dekatnya ini. Sengaja masuk sekolah telat, datang dengan senyum pula.
“Ana? Kamu kenapa? Kesambet hantu perpustakaan ya? Kok jadi abdi perpustakaan gitu?” kata Ria terheran heran sambil mengayunkan tangannya di depan wajah Ana.
“Iya kali! Aku beneran kesambet hantu perpustakaan! Hahahaha!” jawab Ana.
Ria yang melihat itu semakin terheran heran. Alisnya bertaut satu. Tanda bahwa tingkat keanehan Ana sudah mencapai tingkat stadium 4.
“Ria, jangan pasang tampang aneh gitu deh! Aku enggak beneran kesambet kok! Tenang aja,” jawab Ana dan pergi meninggalkan Ria yang masih bisu di tempat duduknya.
***
Ana sudah membaca tamat buku diary itu. dan sesekali mengecek ulang tulisannya. Karena tidak ada sama sekali petunjuk dalam buku itu untuk menemukan benda yang di maksud kan oleh “Rumi Ningsih” pemilik diary itu.

Temukan tangga lahirku pijaki dia
dan kau akan sampai pada tempat diantara
tanah dan cahaya
 yaitu yang menjadi pijakan dan yang
 menaungimu selama kau di sana.
Hartaku ada di sana Dan kau akan temukan  juga pecahan jiwaku

            Sama sekali tak ada arti dari teka teki itu yang melintas di otak Ana.  Kata kata yang di sambungkan oleh Rumi sama sekali tidak memberikan gambaran apa pun. Tak ada sama sekali bayangan yang bisa mengarah ke tempat yang di maksudkan oleh rumi. ‘Sungguh, baru kali ini aku sama sekali tidak memiliki ide  apapun. Mungkin aku kurang berusaha? Atau memang Rumi telah menyiapkan teka teki yang terlalu sulit untuk di pecahkan olehku yang berumur 13 tahun. Aku menutup mataku mencoba merenungi yang ada. Seandainya aku berputus asa, apakah itu jalan yang terbaik?’ gumam Ana.
***
            Hari ini Ana menjaga perpustakaan tanpa semangat. Hanya duduk dan membaca buku diary itu berulang ulang.
            “Siang, kamu yang menjaga perpus bukan?” Tanya seseorang yang sepertinya asing di mata Ana.
            “Iya, ada perlu apa bu?” Tanya Ana kembali.
            Wanita itu hanya tersenyum. Kemudian mulai masuk di daerah barisan rak rak yang berisikan buku lama. Ana mengernyit, wajahnya masihlah sangat muda, tapi pakaiannya mengatakan bahwa dia juga termasuk salah satu warga sekolah ini. Ana sempat menghirup bau parfum milik wanita itu. Wanita itu masihlah sangat muda, karena seleranya sama dengan anak sekolah. Karena tidak ada kelakuan yang mencurigakan Ana pun segera terlarut dalam buku diary Rumi kembali.
            Dalam hening itu Ana sama sekali tak menyadari bahwa ada seseorang yang telah memperhatikannya. Mungkin ia salah satu pemilik kisah yang sampai di tangan Ana?
***
            Sudah berhari hari ini Ana selalu melihat wanita itu sibuk di perpustakaan. Datang hanya untuk melihat rak rak buku lama. Mungkin masih belum menemukan buku yang di carinya.  Ana yang sedari lama tak pernah mempedulikannya mulai memperhatikannya.
            ‘Apa sih? Setiap hari datang ke perpus tapi urusanna enggak jelas! Pulang juga enggak pinjem buku apa-apa,’ batin Ana.
            Hari ini sudah hari keempat guru itu mondar mandir tanpa ada urusan apa pun. Ana yang selalu merasa was was dengan keanehan itu menjadi sering melihatnya. Hingga tak sempat mengoreksi hal hal yang terlewatkan Ana.
            Tiba-tiba bunyi bel berdering keras membuat Ana tersentak dari lamunannya. Segera membereskan meja dan pergi meninggalkan perpustakaan. Tanpa tahu ada yang terlupakan oleh Ana.
            Dari balik bayangan dan debu debu yang melayang. Sebuah senyum tersungging, merasa saat saat yang sudah di tunggunya akhirnya datang.
***
“Hmmm… hwaaa ngantuk….!”
            Ana mendekati meja belajarnya. Ia mulai mengeluarkan isi tasnya. Satu demi satu buku pun dikeluarkan. Hingga buku pelajaran untuk esok pun telah rapi di tasnya. Ana kemudian merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Tapi ia tak tahu apa. Kemudian ia kembali ke tempat tasnya berdiam. Ia mulai membuka dan mengecek ulang buku-buku di tasnya. Sontak ia merasa kaget. Buku diary yang selama ini telah membuatnya betah menjadi penjaga perpustakaan, HILANG! Ana bingung tak menentu. Kini buku diary itu telah menjadi hal penting dalam hidupnya.
***
            Di tempat tidurnya yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman untuknya, kini tak lagi terasa seperti itu. Ia gelisah, bimbang, bingung. Entahlah! Buku diary misterius itu membuat ia menjadi tak bisa tidur malam itu. ‘aaahh, INSOMNIA hari ini’ padahal sebelumnya, Ana tak pernah merasakan penyakit yang seperti ini. Tapi akhirnya, tepat pukul 02.00 dini hari Ana tertidur.
***
            Ana bergegas memakai sepatunya. Berwarna hitam agak pudar, dengan tali yang menghiasianya. Ana berpamitan dengan Bunda, menjabat , dan mencium punggung tangannya. Ana melihat jam yang bertengger di tangannya, benda itu telah menunjukkan pukul 06.15. Ana mulai melangkahkan kaki menyusuri jalanan yang telah sering ia lewati untuk menuju tempat nya menimba ilmu. Sejuk ia rasakan udara pagi ini, matahari tak menyengat tubuhnya, hanya hangat yang ia rasa. Tapi perjalanan menuju sumber ilmu kali ini terasa sangat hampa. Pikirannya tetap melayang pada suatu benda. Benda yang membuat malamnya tak bisa tidur. Buku diary, ya buku diary.
***
            Pintu gerbang yang telah hampir dua tahun Ana lewati kini berada di depan mata. Ia mulai melangkah menjejakkan kaki kesana. Kedua matanya kini mulai mencari-cari, dimana sosok wanita yang akhir-akhir ini sering sekali berada di perpustakaan dan mungkin saja dia tahu akan keberadaan buku diary misterius yang hilang. Ia berjalan melangkahkan kaki menyusuri paving-paving yang mengantarnya menuju suatu ruangan, ruang guru, ‘ku pikir beliau berada disana’ gumamnya. Ternyata, ruangan tersebut sunyi, tak terdengar satupun suara langkah,  meja-meja dan kursi-kursi yang seharusnya tersusun rapi tak lagi terlihat seperti itu, ia hanya menemukan berbagai macam tumpukan buku dan kertas yang berserakan di setiap meja guru.
***
            Langkah kakinya pergi meninggalkan ruang guru. Anak tangga demi anak tangga ia lalui. Sambil ia melirik kanan kiri, menikmati suasana pagi di sekolah meskipun hatinya kalut dan sesekali menghirup udara pagi yang terasa segar untuk mencoba menenangkan diri. ‘Aaaahh….. sampai juga aku disini’ batinnya. Tangannya merogoh sebuah saku, mencari dimana anak kunci berada. Ya, ia diberi kunci cadangan oleh Bu Enik. Seperti biasa, ia mulai membersihkan debu-debu yang mengumpul menjadi sebuah tumpukan, ia juga berkeliling, mengecek satu persatu buku sekaligus menatanya.
***
            Ana terduduk di bangku perpustakaan. Menerawang jauh, teka teki Rumi akan hilang dan lenyap begitu saja. Tanpa ada yang pernah menemukan hartanya. Dan potongan jiwa Rumi  akankah terkubur? Ana ingin tahu apa yang ingin di sampaikan Rumi dari masa lalu. Kembali Ana memutar otaknya. Semakin Ana berfikir, semakin ia menemukan hal yang tak asing. Ana pernah memperhatikan  nama yang tertera di pakaian milik wanita asing yang selalu ditemuinya di perpustakaan. Namanya Fatmawati. Sepertinya nama itu tidak asing bagiku. Atau mungkin karena itu nama istri Bapak Soekarno?. ‘Ah sudahlah nanti juga aku akan menemukan diary itu.’.
            Siang ini Ana mendapat tugas untuk menagih buku-buku yang sedang di pinjam oleh para guru. Sekarang Ana sedang berada tepat di depan pintu ruang guru. Ana menghampiri bangku paling ujung. Mendata buku-buku yang ada di atas meja guru, hingga sampailah Ana di meja milik Bu Fatmawati, wanita misterius yang entah kenapa selalu mengunjungi perpustakaan tanpa tujuan. Tapi akhir – akhir ini Ana tak pernah melihatnya. Ketika membuka buku demi buku ada satu buku terjatuh dari dalam sela – sela buku yang lain. Ana terkejut, itu adalah buku diary milik Rumi. Tangannya sudah mengggam buku itu, ketika Ana hendak membawa, di belakangnya telah berdiri sosok yang akhir-akhir ini menjadi tak asing. Bu Fatmawati.
            “Ana, kamu ambil buku apa itu?”
            Ana hanya terkejut melihat sosok Bu Fatmawati sudah ada di hadapannya. Ana menutup matanya, dia hanya bisa pasrah
***
            “Kamu tahu kan aku adalah sahabat Rumi. sekarang ia telah meninggal. Ia menginginkan agar aku menemukan kotak yang berharga untuk Rumi. Karena alasan itu lah mengapa aku berada di sini dan aku selalu menyibukkan diri di perpustakaan.” Rumi hanya terpaku mendengarkan rentetan cerita itu.
***
            Akhirnya Ana bisa manyingkap siapa pemlik diary miterius yang selama ini ia bawa dan yang membuatnya betah untuk berlama-lama berada di perpustakaan. Tapi sampai detik ini ia masih terlalu sulit untuk membuka rahasia teka teki  milik Rumi itu. Bahasa yang dibuatnya begitu singkat dan perlu logika yang tinggi. Tapi Ana tak mungkin menyerah untuk menemukannya. Sekarang ia melihat sekeliling kamar, mencoba mencari inspirasi dan mengangan-angan apa yang Rumi maksudkan dalam teka teki yang ia buat nya itu. Tapi malam telah semakin larut ia berhanti mengasah otaknya untuk menemukan teka teki Rumi. Ia beranjak dari tempat tidurnya, menuju meja belajar untuk minyiapkan buku.
***
            Ana dan Bu Fatmawati sedang mediskusikan rahasia yang telah disiapkan oleh Rumi. Segala imajinasi dan inspirasi telah di keluarkan. Ana mengartikan satu demi satu kata yang tertera pada diary Rumi. Tak lama Ana mulai mengerti apa yang Rumi maksudkan. ‘ Tangga? Mungkinkah tangga yang berada di sekolah ? Ah tak mungkin. Apakah di rumahnya terdapat tangga? Oh…. Mungkin itu benar, tapi apa dia mempunyai tempat istimewa yang orang lain pun tak tahu?’ Ana bergumam sendiri.
            “Rumi seorang yang sederhana mungkin teki teki itu sebenarnya sederhana tapi ia buat rumit. Jadi kita tidak perlu memikirkan tempat yang begitu istimewa. Pasti benda itu terletak di tempat yang sederhana pula,” ucap Bu fatmawati. Ana agak terkejut, Bu fatmawati seperti menjawab gumaman Ana. Ana berfikir sejenak. Mungkin tempat itu tidak jauh dari rumah Rumi.
***
            Ana menatap sebuah pemandangan yang tidak asing. Pohon dengan sebuah rumah kecil yang kurang terawat, hingga di tempati beberapa burung untuk tempat tinggal. Terdapat beberapa anak tangga yang salah satu nya telah copot. ana mencoba menghitung bilangan anak tangga itu. Sebelas buah. Mungkinkankah ia lahir tanggal sebelas?
“Bu , apakah Bu Rumi lahir tanggal sebelas?” Kata itu pun begitu terlontar dari mulut Ana
“Iya,” jawab Bu Fatmawati.
“Aku yakin bahwa ini lah tempat barang berharga milik Rumi berada,” Ana menaiki tangga itu bersama Bu Fatmawati.
‘Mata ku bingung melihat benda berserakan itu semua. Daun daun berserakan di mana-mana. Debu pun tak luput dari penglihatan. Kotoran burung telah mengering dan bekumpul menjadi gundukan. Kursi kayunya pun telah rapuh. Bahkan untuk duduk seorang balita saja tak sanggup untuk menahannya. Terdapat juga meja dan loker yang berisi buku-buku usang. Lantainya berdenyit dan terdapat beberapa lubang.’ cerita Ana dalam benaknya.
Ana mulai berfikir, mata Ana tertuju pada tumpukan buku di pojok sebelah kiri ruangan itu. tertulis ‘Tentang Diriku ’   pada salah satu cover buku yang berada di tumpukan itu. berwarana pink dengan plastik lumayan tebal untuk sampulnya. Ana  membuka lembarannya satu demi satu. Ana tersenyum membacanya. Karena dengan buku  itulah Ana tidak perlu susah susah untuk mencarinya. Terdapat serentetan petunjuk di  mana letak kotak itu. tertulis ,
Ikuti aluran hidup yang kau pijaki sekarang.
Di situ engkau akan menemukan angka XI lagi
di arah bayangan mu ketika matahari akan tenggelam
buka, dan kau akan temukan harta ku.
Segera Ana mencoba mengartikan petunjuk itu. ‘pijakanku adalah kayu sedangkan matahari tenggelam di sebelah barat pastinya bayangan ku berada di sebelah timur. Ana berdiri di dekat jendela. Memandang lekat arah timur berharap sebuah petunjuk menghampirinya. Setelah Ana melihat dengan pasti, ia menghampiri tanda yang di cari nya sejak tadi. Angka romawi yang menunjukkan XI, berada tepat 3 langkah dari pijakannya. Segera ia buka pegangan yang telah tersedia. Sedikit susah memang. Ia memanggil Bu Fatmawati membantu untuk membukanya.
“kretek…..!” Suara yang terdengar.
Ana dan Bu Fatmawati melihat kotak yang telah lama mengahantui pikiran mereka. Segera Ana mengambil kotak berharga milik Rumi itu. berwarna coklat pudar, dengan ukiran bunga kesukaan Rumi, bunga melati. Tanpa berlama – lama lagi Ana segera membuka kotak itu dengan perasaan senang. Diambilah isi dari kotak itu. sebuah buku diary berwarna krem dengan gambar bunga kesukaannya, dan gulungan kertas putih berpita ungu. Dengan hati – hati Ana membuka lembar pertama buku diary berwarna krem tersebut, dan bertuliskan:
Bukalah ikatan ungu yang melingkar pada serpihan hati ku
          Ana mengerti apa yang dikatakan pada buku diary itu. Sepertinya semua runtutan perintah itu begitu mengalir di dalam pikiran Ana. Seperti memiliki alam bawah sadar yang menuntunnya menjawab semua teka teki itu. Ana membuka pita ungu yang mengikat lembar putih itu. tapi apa yang ia dapati hanya selembar kertas putih.  Apakah maksud Rumi dengan sebutan koktak berharga yang telah ia rencanakan padahal kotak itu hanya berisi kertas putih….
            “Bu, Apakah pencarian kita sia-sia?”
            “Sebentar, coba kamu buka lagi buku diary itu, mungkin ada lembar yang memberi arti apa kata hati Rumi.”
Kembali Ana mengambil buku berwarna krem yang ia ambil dari kotak tadi. Ia buka lembaran berikutnya.
            Serpihan hati ku untuk sahabat ku:
          Kata yang mengalir begitu saja dalam relung batinku hanya ingin melontarkan kata yang bagiku teramat berharga. Aku ingin engkau,  sahabat ku mengerti akan ini semua.
‘Hidup ini seperti selembar kertas putih, hanya kitalah yang bisa menjaga dari segala debu jiwa yang merasuk begitu saja. Tak luput pula ayunan perbuatan yang membuat lembar itu penuh akan coretan yang akan membuat kita hanya dalam relung penyesalan. Aku ingin engkau  Rasakan apa yang membuat mu tentram tanpa coretan yang terlukis dalam lembar putih batin mu.

          Terpaku Ana dan Bu Fatmawati mendengar jerit hati seorang Rumi. Linangan embun di pelupuk mata tak dapat terhenti. ‘Inikah yang Rumi ingin ungkapkan untuk ku?’
***



Terakhir........ ini buatan asli pas SMP ketika ada tugas buat cerpen estafet.... jadi yang bikin bukan cuma aku tapi dua temenku yang lain juga.........

No comments:

Post a Comment