Hujan masih deras. Mengguyur seluruh jalan. Dibawah pohon rindang sebuah payung merah digenggam dengan erat sedangkan wajah yang membawanya hanya meratap sedih bangku kosong disebelahnya. Kemudian dirinya menatap langit dan membuka payungnya. Air deras turun dari atas kepalanya mengalir membasuh wajahnya. Dia memjamkan mata kemudian terisak. Air matanya bercampur riak hujan mengalir turun. Tubuhnya limbung kemudian memeluk bangku didepannya. Dan menangis sejadi jadinya.
Dia menggapai seluruh bangku itu dengan tangannya mencari cari sisa kehangatan disana. Tapi tidak ada. Air hujan membuat tangannya bias dan dingin. Jauh darinya payung lain tengah berdiri diam. Matanya tertunduk dan tangan meremas erat. Kakinya yang tegap menempel ditanah ingin bergerak. Berlari dan menggapai sosok yang menangis itu. Tapi tidak mungkin dirinya melakukannya. Karena dialah yang membuat seseorang itu menangis.
***
“Ari?” Tanya Liana kepada seseorang disebelahnya. Ari pun menoleh kemudian sama sama terkejut
. “Liana? Hey, apa kabar?” sapa Ari dengan ceria. Dia tidak meyangka akan bertemu dengan teman lama.
“Nggak nyangka satu SMA, seingatku dulu terakhir kita ketemu kelas empat SD pas aku pindah sekolah?” cerita Liana.
Ari sambil tersenyum mengangguk mengiyakan. Mereka bercerita lama hingga waktu MOS berlalu. Dan tidak mereka duga rumah mereka tidak begitu jauh. Mungkin hanya sekitar empat kilo. Tidak lama kemudian seseorang menghampiri mereka berdua sambil berlari tergesa gesa. Ari menatapnya bingung sedangkan Liana melambai dan berteriak.
“Dias! Cepetan!” teriak Liana keras. Dias yang masih berlari mengacungkan jempol dari jauh kemudian balik melambai. Liana menoleh ke Ari.
“Dia tetangga sebelah sekaligus sahabatku,” ucap Liana membuat Ari menoleh lagi. Oh, dirinya pasti penggantiku selama aku pindah.
“Diaas! Kenalin ini Ari!” Liana segera menarik tangan Dias yang baru saja berhenti berlari dan masih ngos ngosan.
“Ari,” Ari memperkenalka diri.
“Di..as,” jawab Dia sambil terengah engah.
“Kok lama banget sih?” Tanya Liana sambil menunjuk nunjuk. Itu adalah kebiasaan kecil Liana. Ari pun mengetahuinya.
“Biasa, ngumpul sama temen lainnya. Katanya ada jadwal balap ntar malem,” Dias menyeka keringatnya dan mulai berjalan bersama, bertiga.
“As, jangan balap mulu. Pikir keselamatan juga,” Liana mencoba menngingatkan dia benci mendengar Dias akan melakukan jadwal balap atau apa. Dia khawatir.
Dias Cuma tersenyum dan mengacak rambut Liana yang hanya diatas bahu itu.
“Tenang, nggak bakal ada kejadian apa apa,” jawabnya tenang. Sedangkan Ari yang melihat mereka mengerti dengan jelas mimic Liana. Dia menyukai Dias. Dan jelaslah mimic Ari yang masih mencintainya semenjak SD dulu.
Kelas 2 semester 2
“Ri, maaf, mulai hari ini aku nggak bisa nemenin kamu jalan jalan,” ucap Liana dari jauh. Ari menggenggam telponnya. Entah kenapa dia tidak terlalu kaget. Mungkin karena dia sudah menyangka bahwa dirinya tidak akan pernah memenangkan hati Liana.
“Karena Dias?” Tanya Ari mencoba mencari konfirmasi dari tebakannya.
“Ya, aku pacaran sejak dua hari yang lalu, maaf,” suara Liana terkesan formal dan rendah tidak ceria seperti biasanya. Ari menggigit bibirnya. Sejujurnya dia sudah tahu sejak dua hari yang lalu. Karena dirinya mengetahui secara langsung bagaimana Liana meneriama Dias. Dan Ari tahu, usahanya selama setahun hanya membuahkan hasil ‘sahabat’.
“Ok kalau gitu, terima kasih,” jawab Ari kemudian menutup telponnya. Dari jauh Liana berat hati berkata demikian kepada Ari tapi apa boleh buat? Dirinya harus tegas memilih. Dan pilihannya adalah Dias.
Ari menatap cermin di depannya. Wajahya kecewa terlihat sangat jelas. Dia seharusnya tahu akan merasakan ini. Dia seharusnya tahu bahwa tidak da persahabatan murni diantara mereka. Dan dia seharusnya tahu semua usahanya akan berakhir sia sia.
Malam itu Dias menelpon Liana. Mengucapkan salam tidur dan sedikit petikan gitar untuk Liana hingga mimpi menjemput Liana tertidur. Sedangkan Dias menatap bulan dari jauh. Entah kenapa dia merasa akan kesepian.
15 Maret 2010 00.15 am
Suara motor Dias keras diantar senyap balap motor benar benar narkoba buat dirinya. Dan Dias tidak akan bisa jauh dari balap motor. Malam ini dirinya benar benar beruuntung dia memenangkan tiga pertandingan berturut turut dengan taruhan yang besar.
“Traktir kita As!” ucap Tyo mewakili kelompok Dias. Tapi Dias mengacungkan telunjuk dan menggerakkannya ke kanan ke kiri persis seperti kebiasaan Liana.
“Nggak bisa, sorry,” jawabnya. Sedangkan kelompoknya kecewa.
“Emank duit segitu banyak buat apa?” Tanya Tyo lagi. Biasanya Dias kalau menang tidak akan ragu untuk menraktir mereka.
“Lusa Liana ultah,” jawabnya Kemudian mengambil helm dan pergi. Tyo segera mengerti. Meurut Tyo bagi Dias hanya ada satu yang sebanding dengan balap motor yaitu Liana.
16 Maret 2010 10.00 am
“An,” panggil Dias.
“Iya?” Liana yang ada di depannya menoleh sambil tersenyum.
“Besok, tunggu aku di bangku taman biasanya,” wajah Dias berkata sambil tersenyum juga mellihay senyum Liana.
“Sore?” Tanya Liana lagi dan mendekat.
“Yap, sore, jam empat,” Dias berkata mantap. Sedangkan Liana menggenggam tangan Dias.
“Terima kasih, Dias!” teriak Liana. Dias benar benar tidak sabar menunggu besok.
17 Maret 2010 15.30
Liana sudah duduk di bangku taman sambil membaca komik. Buku favoritnya. Ari menatap Liana dari jauh, dia iri. Dias mendapatkan Liana. Senyumnya perhatiannya, dan juga kasih sayangnya. Untuk terakhir kalinya biarkan dirinya mengerjai mereka berdua. Hanya terakhir.
“Loh, Liana? Ngapain sendiri?” Tanya Ari. Liana yang asyik membaca komik menoleh.
“Nungguin Dias,” jawabnya sambil tersenyum lebar. Kemudian kembali membaca komiknya.
“Pinjem hp dong, aku mau sms orang rumah. Kunci rumah dititipin siapa, bingung rumah kosong hp nggak ada pulsa,” Ari menatap Liana memelas. Kemudian Liana merogoh sakunya.
“Ini, jangan dipake telpon. Pulsaku juga tinggal dikit,” perintah Liana yang super hemat pulsa.
“Oke, santai trims,” Ari mulai mengetik pesan.
Maaf aku nggak bisa nunggu di bangku biasanya. Kutunggu di depan café payung.
Dan pesan itu dikirim ke nomor Dias. Kemudian setelah terkirim Ari cepat cepat menghapus sent message nya. Kemudian mengembalikannya.
“Thanks Liana, moga Dias cepet dateng,” ucap Ari kemudian pergi. Di dalam hatinya Ari bergumam, ini hanya kenakalan kecil terakhirku.
17 Maret 2010 16.25 am
“Ri!!” suara teriakan Liana terdengar keras di hp Ari. Dia kaget, suara Liana terdengar tidak biasa.
“Ada apa na?” Tanya Ari biasa. Mungkin mau cerita tentang kado dari Dias atau apalah sejenisnya.
“Dias kecelakaan!!” suara teriakan Liana yang keras membuat Ari kaget. Kecelakaan?
“Dimana?” Ari bangun dari tempat tidurnya mengambil jaket dan kunci sepeda motor.
“Di depan café payung, Dias kecelakaan gara gara motong jalan!” teriak Liana lagi.
“Kamu sekarang dimana?” Tanya Ari lagi.
“Aku sepuluh meter di depan café aku bisa lihat sepeda Dias,” kemudian suara terputus. Ari segera pergi. Dia bermaksud melakukan kenakalan terakhir tapi bukan berarti terakhir untuk selama lamanya. Ari benar benar merasa bersalah.
Ari sudah setengah jalan ke tempat café payung dilihatnya dari jauh ambulan tengah siap menutup pintu belakang. Dai jauh Ari melihat betap parah luka Dias. Dan betapa sedih wajah Liana. Sekali lagi Ari merasa bersalah.
18 Maret 2010 07.00
Nyawa Dias tidak terselamatkan. Tanah sudah menjadi satu dengannya pagi itu. Liana di dekat nisan memakai baju serba hitam menatap sedih. Sedangkan Ari tidak berani mendekat. Dialah pembunuh yang tidak berhak dating melihat kematian temannya sendiri.
“Di..as.. Dias!!” suara Liana miris. Seperti tercekik tangisannya jatuh. Wajahnya tertunduk tangannya mengais tanah.
Ari ikut miris mendengarnya. Suara parau Liana jauh dari suaranya yang biasa. Dan sejak hari itulah aku kehilangan semua keceriaannya.
20 Maret 2010 10.00 am
Aku Ari….
Liana masih belum masuk sekolah. Sempat ku sms dia karena khawatir tapi sama sekali tidak ada jawaban. Entah kenapa rasanya nafasku jadi sesak antara rasa bersalah yang dalam juga kesedihan mendalam. Kadang aku berpikir ini kesempatan bagus karena Dias tidak ada mungkin aku bisa mendekati Liana. Tapi kututup pikiran itu rapat rapat. Tidak! Tidak! Apa aku sudah tidak punya harga diri?! Tidak! Kemana rasa persahabatanku!
Sepulang sekolah aku mencari Liana ke rumahnya. Aku merasa resah. Sebelum aku sampai kedalam pagar ari jauh aku melihatnya berjalan keluar kemudian berlari. Aku kaget, kemana dia? Kuikuti sambil bersembunyi. Ternyata dia ke bangku tempat dia menunggu Dias.
“Dias, kamu bakal kesini kan? Dias? Aku rela nungguin kamu selama apapun. Dias, kamu nggak kemana mana kan?!” teriaknya tiba tiba. Aku mendengarnya dengan jelas dan hatiku bergetar sakit.
Besoknya, aku kembali mengirim sms tapi sama saja. Sama sekali tak ada jawaban. Kulihat langit gelap. Dan tidak berapa lama kemudian hujan turun. Aku berjalan menuju rumah. Untung penjaga sekolah meminjami payung untunkku. Saat aku berjalan kulihat lagi taman itu. Terdapat payung disana. Aku hafal siapa pemilik payung itu. Liana. Dia disana lagi. Meratap tanpa berkedip mungkin. Dan aku menatapnya tanpa bernafas mungkin.
Aku pulang tidak ada yang bisa kulakukan untuknya. Dan mungkin akan lebih baik jika aku tidak lagi didekat Liana.
18 Maret 2015 07.00 am
Ari menatap langit sepi. Pemakaman benar benar tempat yang sunyi. Ari membersihkan rumput yang tumbuh disekitar makam. Kemudian menebar bunga. Dia menatap nama yang terukir pada nisan itu. Sudah lama, sejak terakhir kali dirinya bertemu Liana. Tapi dirinya tidak pernah sekalipun menelponnya. Mungkin dirinya memang tidak bernilai untuk Liana.
Hari ini alasannya ke pemakaman ini adalah mimpinya tadi malam. Suara Dias jelas terdengar dalam mimpinya menyuruhnya untuk datang ketempatnya. Untuk apa pikirnya. Tapi tetap saja baginya tidak mungkin menolak keinginan itu.
Ketika berbalik dari jauh dilihatnya dari jauh sosok Liana yang masih sama seperti dulu. Memakai baju serba hitam.
“Ari?” tanyanya. Wajahnya penasaran dan kaget.
“Hay, Liana,” jawab Ari canggung.
“Kau kemari? Kenapa?” Tanya Liana bunga ditangannya merenggang.
“Karena aku dipanggil oleh Dias dalam mimpiku untuk kemari,” dan jatuhlah bunga dari tangan Liana.
Ari menatap bingung. Dan mendekatinya kemudian menepuknya. Sedangkan Liana bergetar dan memeluknya dengan erat membuat Ari balik kaget. Tapi entah kenapa dia merasakan sebuah pemaafan yang mengangkat beban hatinya.
18 Maret 23.00 am
Aku Ari…
Dalam mimpiku aku berjalan sendiri dan berlari dan tiba tiba ada yang meraih pundakku. Aku menoleh, dia adalah Dias. Dia mendekatiku dan memelukku erat.
“Itu semua bukanlah salahmu. Dan kali ini, biarlah kulihat kamu menjaga Liana untukku,” ucapnya kemudian pergi.
Seketika aku terbangun dan terkesiap. Jendelaku masih terbuka ternyata, dari sana dengan jelas bisa kulihat bulan. Dia diam dengan cahayanya aku terpaku. Bulan itu seperti menatapku. Kemudian aku tersenyum.
“Terima kasih, kawan,” ucapnya lirih.
***
No comments:
Post a Comment