Wednesday, July 27, 2011

PRAMUKA 4 hari 3 malam




ey... ey...... kakak!!!!!!

gila tapi laku gila tapi laku gak neko neko !
arek kece kece... arek kece kece.... MAN 3 OKE!!!!!

rasanya EMPAT hari TIGA malam yel yel muluk ampek suara tepar......

pengalaman yang manis ma pahit banget ngrasain yang namanya lomba LKP di UNISMA ini...

sapa yang tahu? sapa yang ngerti ? kita latihan dua hari dua malam.. kayak orang gila.... hohoooo...
walhasil.. yang gak terlalu jelek juga .. gondol lebih dari satu piala..... 

buat pengalamanku sebagai peserta... itu kerasa asyik... capek... makan ati... wah.. macem macem banget..

at leat.... ucapan terima kasih kepada .... segenap pembina dan alumni yang setia banget sama kita..... salut banget!!!!   ^_^

PRAMUKA! SALAM SATU JIWA!

Saturday, March 19, 2011

Bukan Hanya Satu Wajah

Bukan Hanya Satu Wajah
Improve from Klenting Kuning’s Story

Daun-daun bersuara serak memadu malam yang gelap menjadi ramai dengan derak alam. Saat itulah angin mengabari padanya. Telah hilang wanita yang bertahta mahkota yang menjadi satu satunya cinta milik seorang pangeran. Malam kembali mengiris sedikit waktu agar matahari tak lama sembunyikan dirinya. Cerita di mulai dari angin.......
          Sudah dua malam ini angin begitu ganas menerpa tanah. Daun-daun muda yang baru menghirup cahaya matahari seperkian detik telah di takdirkan gugur. Memberi keindahan di polosnya ganas angin. Sepasang mata yang sedari tadi selalu mengikuti angin itu menemukan seseorang terombang ambing dalam hiruk pikuk malam. Ia pun menunggu dengan sabar agar angin tak menggerus tubuhnya juga. Tapi  malam tak kasih satu kesempatan pun pada dirinya untuk menolong tubuh yang semakin hilang dan kabur dalam gelap itu. Mata itu menatap langit dan mungucap do’a untuk keselamatannya.
                                               * * * * * * * * *
          Dumala memandang latar yang tak lagi rapi seperti kemarin. Semua hancur terkoyak kejamnya angin pada bumi. “ Untung anakku tak melihat ini semua ,” pikirnya. Setelah beberapa menit terdiam, pikirannya melayang kepada sosok yang kemarin telah membuatnya terenyuh untuk mendo’akannya. Matanya  berputar mencari hal yang tak biasa yang ada di sekitarnya. Kemudian matanya terhenti tepat di balik semak-semak belukar yang tajam. Terpapar sesook wanita putih yang cantiknya tak bisa terkira. Tapi darah mengalir dari luka dikakinya tergores tajamnya belukar. Dumala tak tega memandangnya, ia memapah perempuan itu. “ Jika ini adalah anakku yang menghilang sungguh miris hatiku melihat keadaannya kini?”
          Tapi, Dumala berhenti. Kepalanya berpikir macam-macam. “Apa yang  akan aku llakukan padanya?” Dan hanya ada satu, sungguh Dumala tidak ingin mengambil keputusan seperti ini. Tapi hanya inilah yang bisa dilakukannya. Demi anak-anaknya juga.
                                                * * * * * * * * *
          “Klenting kuning!!!!!” Teriak Klenting Merah.
          Klenting Kuning yang hendak pergi ke hutan segera berlari kembali ke dalam rumahnya. Keringatnya yang mengalir deras membuatnya terlihat legam. Tapi dia tetap berlari.
          “Iya, Kak,” jawab Klenting Kuning.
          Bukan petir yanng menyambar desa hanya suara mengelegar Bureg, dia adalah sumber informasi di desa ini. Dan suara itu menyelamatkan Klenting Kuning dari iamukan kakaknya. Klenting Kuning pun menjauh dari Kakaknya yang sibuk mendengar berita yang dibawakan Bureg.  Sedikit penasaran juga, Klenting Kuning pun mendengar sembunyi-sembunyi.
          “Ah, Begitukah? Pria tertampan di Desa Dadapan mencari istri?” Teriak kedua kakaknya.
          Terjawab sudah rasa penasaran Klenting Kuning. Ia tak tertarik sama sekali dengan hal itu. Semua itu sama sekali tak ada hubungannya dengan dirinya. Ia pun segera kembali ke hutan. Mencoba menyegarkan kepenatan yang telah menumpuk di dalam pikirannya. Ia akan bahagia jika ia mendengar nyanyian hutan. Entah mengapa gesekan daun saja sudah menjadi suara ninabobo

Putaran Kisah Ketiga


Hujan masih deras. Mengguyur seluruh jalan. Dibawah pohon rindang sebuah payung merah digenggam dengan erat sedangkan wajah yang membawanya hanya meratap sedih bangku kosong disebelahnya. Kemudian dirinya menatap langit dan membuka payungnya. Air deras turun dari atas kepalanya mengalir membasuh wajahnya. Dia memjamkan mata kemudian terisak. Air matanya bercampur riak hujan mengalir turun. Tubuhnya limbung kemudian memeluk bangku didepannya. Dan menangis sejadi jadinya.
            Dia menggapai seluruh bangku itu dengan tangannya mencari cari sisa kehangatan disana. Tapi tidak ada. Air hujan membuat tangannya bias dan dingin. Jauh darinya payung lain tengah berdiri diam. Matanya tertunduk dan tangan meremas erat. Kakinya yang tegap menempel ditanah ingin bergerak. Berlari dan menggapai sosok yang menangis itu. Tapi tidak mungkin dirinya melakukannya. Karena dialah yang membuat seseorang itu menangis.
                                                                        ***
“Ari?” Tanya Liana kepada seseorang disebelahnya. Ari pun menoleh kemudian sama sama terkejut
. “Liana? Hey, apa kabar?” sapa Ari dengan ceria. Dia tidak meyangka akan bertemu dengan teman lama.    
 “Nggak  nyangka satu SMA, seingatku dulu terakhir kita ketemu kelas empat SD pas aku pindah sekolah?” cerita Liana.
Ari sambil tersenyum mengangguk mengiyakan. Mereka bercerita lama hingga waktu MOS berlalu. Dan tidak mereka duga rumah mereka tidak begitu jauh. Mungkin hanya sekitar empat kilo. Tidak lama kemudian seseorang menghampiri mereka berdua sambil berlari tergesa gesa. Ari menatapnya bingung sedangkan Liana melambai dan berteriak.
“Dias! Cepetan!” teriak Liana keras. Dias yang masih berlari mengacungkan jempol dari jauh kemudian balik melambai.  Liana menoleh ke Ari.
“Dia tetangga sebelah sekaligus sahabatku,” ucap Liana membuat Ari menoleh lagi. Oh, dirinya pasti penggantiku selama aku pindah.
“Diaas! Kenalin ini Ari!” Liana segera menarik tangan Dias yang baru saja berhenti berlari dan masih ngos ngosan.
“Ari,” Ari memperkenalka diri.
“Di..as,” jawab Dia sambil terengah engah.
“Kok lama banget sih?” Tanya Liana sambil menunjuk nunjuk. Itu adalah kebiasaan kecil Liana. Ari pun mengetahuinya.
“Biasa, ngumpul sama temen lainnya. Katanya ada jadwal balap ntar malem,” Dias menyeka keringatnya dan mulai berjalan bersama, bertiga.

Tinta Terakhir Kara


Apakah bisa kembali menjadi seperti dulu. Menggenggam jari nya yang menyatu dengan jari jariku. Bertaut dan memberikan perasaan hangat yang sangat kurindukan. Sekarang, aku benar benar sudah kehilangannya.
            Entah ini di mulai kapan. Tapi aku sudah terpisah jauh ketika tangan kami hampir tak pernah bertaut lagi. Sejak dia mengenal dunia yang sama sekali tidak ingin kumasuki. Bukannya membenci pilihannya. Tapi aku sangat mengenal dirinya. Dan aku tahu, meski wajah kami memiliki ukiran dan proposi yang sama tapi jiwa kami sesungguhnya berbeda. Tapi dia tetap saja kubutuhkan.
            Malam itu, sudah berkali kali aku tahu dirinya tersenyum senyum sendiri dengan bayangannya di depan cermin. Menyeringai dan terlalu menikmati kehidupannya. Yang bagiku hanya kosong belaka. Tapi mulutku sudah lelah menasehatinya. Lagi pula aku tak tega melihatnya menderita.
            Kini, genap delapan bulan sudah kuhitung sejak perjumpaan pertama kali dirinya dengan barang  yang kusebut “haram” itu. Badannya semakin kurus dan tak terurus. Matanya semakin gelap,  dia sudah sering kehilangan kesadarannya. Mungkin bisa kubilang dia mayat hidup. Tak jauh beda bila kusebut seperti itu.
            Hem, aku belum pernah menyinggung keadaan keluarga kami dan bagaimana kondisinya, bukan?  Aku lupa. Mungkin semua orang yang bisa membedakan aku dan dia akan memanggilku Kara dan dia adalah Kira. Orang yang selalu menjadi cermin nyata di manapun aku berada.  Tak seharusnya aku mengekspos cerita yang sepatutnya tak kukatakan. Tapi aku sudah cukup bersabar agar bisa menutupi semuanya. Dengan  keadaan yang semakin gila, aku sudah tak lagi bisa menaruh kewarasanku untul menjaga nama baik. Apalah itu nama baik!
            Aku hidup dengan keadaan selalu tercukupi malah terlalu tercukupi. Tapi itu semua hanya dari kaca materi, batinku hampa. Ayah ibuku seorang pebisnis sukses. Hingga  terlalu sibuknya mereka  tak tahu bahwa dirinya sendiri sudah digerogoti waktu. Tanpa ada yang tahu ternyata ibuku mengidap kanker kulit yang akut. Dan akhirnya waktupun behenti untuk dirinya. Dia sudah  kembali ke sisi-Nya.
            Itu adalah awal mimpi buruk bagi keluargaku. Ayah menjadi ganas. Dan meluapkan nafsunya dengan memanggil gadis gadis pinggiran yang doyan uang. Aku hanya bisa menatap ayah sendu. Aku tahu, kehilangan ibu adalah pukulan besar baginya. Sampai membuatnya kehilangan keteguhan dalam dirinya, kemudian hancur jatuh ke jurang masalah.
            Aku sendiri pun sungguh kehilangan. Hanya saja aku masih memiliki banyak harapan dan teman untuk berbagi. Bagiku selama aku memiliki Kira hidupku masih belum di ujung tanduk. Tapi apa yang kurasakan tak sama seperti yang dirasakan Kira. Dia menjadi liar. Sejak pertemuannya pertama kali dengan Neo. Seorang lelaki pengecut yang juga telah menjdi penghancur bagi keluargaku.
            Neo selayaknya angin dengan harum manis. Yang membuat Kira mabuk dan selalu saja menginginkan rasa manis itu. Memainkan mainkan Kira kesana kemari semau dirinya. Sedangkan Kira tidak berdaya menghadapi itu semua.

Friday, March 4, 2011

Jendela Kelabu

Tanganku menyentuh jendela lekat. Terasa dingin dan aneh. Mungkin karena hujan, dan air melewati jendelaku menjadi titik titik embun didekat debu. Mataku mengikuti air yang tengah turun dan melewati tanganku dibaliknya. Dingin. Kembali kulihat jauh dilangit luar sana. Jendelaku adalah hidupku. Hanya jendela saja yang selama ini kulihat. Jauh diluar sana hanya ada tembok tinggi. Kadang kala ada kucing melewatinya. Dan aku akan tertawa jika ada kucing lain tengah berebut tulang ikan. Itulah yang kutahu. Ah, tidak hanya itu. Aku lupa.

Serangkai Aku dan Dia

Aku
Satu dari sejuta tangan itu bergerak dari diam. Kemudian mengais debu yang bertebangan diterpa angin. Dilatari jingga yang menghalau mata, menyipit pelan. Disana aku terpesona dengan wajah itu. Menantang langit yang sepi dengan wajah tajam dan tegar. Shutter kutekan cepat. Aku tak boleh kehilangan wajah itu. Harus kuabadikan.
            Wajah kecil itu menoleh pelan menyadariku. Kemudian mendekatiku dan tersenyum.
            ”Boleh lihat?” tanyanya polos sambil menunjuk benda kotak hitam yang kubawa.
            ”Tentu, boleh,” jawabku. Kuserahkan kameraku, tangannya terlalu kecil untuk menerima kamera itu.
            ”Ini apa kak?” tanyanya lagi. Menunjuk berbagai tombol disana. Aku mendekatinya dengan berjongkok dan menjelaskan satu satu.
           
Dia
Kakak dihadapanku ini siapa? Tampaknya reporter atau wartawan. Sudah sering aku lihat orang yang membawa kotak kamera seperti dirinya. Sama. Apa dia mau mengabadikan ? semua yang terjadi di tanah ini?
Aku mencoba memencet semua tombol. Penasaran. Tiba tiba layar kecil disana menyala. Dan kulihat satu foto indah disana. Kupicingkan mata. Aku kenal sosok itu. Akukah?
”Ini aku, kak?” tanyaku polos. Sambil menunjuk layar itu. Kakak itu mengangguk. Oh, aku benar ternyata.
”Adik, cantik sekali,” pujinya membuatku malu dan tersipu. Kupencet tobol arah kiri, disana ada foto lain. Yang membuatku bungkam. Kampungku. Kini ditutup debu dan sepi. Meski foto ini bisu, tapi ia berbicara jelas dimataku. Kini kampungku mati.
“Kakak? Ini kampungku,” ucapku meceritakan sedikit.
“Iyakah?” tanyanya simpati sepertinya. Kujawab mengangguk.
“Abu abu yah,” gumamku melihat semua debu menutup permukaan disana. Kakak itu sekali lagi hanya menganggu sepertiku.
“Disini aku kenal tempat ini. Biasa main petak umpek sama temen temen,” gumamku rindu. Ah, tempat bermainku hilang. Kulihat wajah kakak, dia sepertinya tertular perasaanku. Wajahnya sendu menatap foto itu.

Jiwa di Balik Debu

“Bukankah ini semua tidak berarti?” Tanya Fatma.
            Rumi hanya memandang kotak ditangannya. Kemudian kembali memandang Fatma.
            “Fat, bagi Rumi kotak ini berharga. Punya banyak arti buat Rumi.” jawab Rumi.
            “Apa isinya?” Tanya fatma.
            “Sesuatu yang kusebut buku harian dan sebuah rahasia,” jawab Rumi.
***
            “Ana! Sudah berapa kali kamu terlambat hah?” Tanya Bu Enik.
            Ana cuma bisa menutup mulut dan matanya. Berharap jika dia diam semua akan baik-baik saja.
            “Baiklah sebagai hukumannya kamu harus membantu petugas perpustakaan selama seminggu!”
            Seketika itu mata Ana yang hanya diam memelik. Seakan tak percaya apa yang menimpanya.
***
            “hatching!”
            Debu-debu melayang dengan liar. Menggelitik hidung Ana yang tengah membersihkan buku-buku lama.
            ‘Argh! Kenapa aku harus di sini? Bersama buku-buku usang seperti ini? aku memang kurang beruntung hari ini!’ batin Ana.
            Ketika tengah memersihkan buku, suara bel membuat ana bersemangat mengemasi barangnya. Segera ia beralih dari rak menuju meja tempat tas dan buku bukunya berserakan. Tanpa memperhatikan buku buku yang di ambilnya dia segera kembali pulang, mungkin bau buku sudah membuatnya mual.
***
            “Ahhhh….  Capek banget!!!!! Jadi pengurus perpus? Apa enggak salah tuh? Bisa gila aku! Aku kan cuma doyan komik!” gerutu Ana. Setelah berdiam diri, mungkin sudah lelah untuk menggerutu. Ana mengahmpiri mejanya, membongkar isi tasnya. Ketika mulai mengembalikan kembali bukunya ke rak, Ana melihat buku asing yang tiba-tiba ada didalam tasnya.
            “Apa ini?” gumam Ana.
            Bingung dengan yang di lihatnya. Buku usang seperti itu rasanya tak pernah dia miliki.
Sepeti selayaknya seseorang yang penasaran, dia membuka buku itu. Dengan cuek di bacanya halaman pertama. Hingga tak terasa Ana sudah terlarut membaca buku itu. Entah apa yang membuatya tertarik dengan buku usang tua itu.
            Terang bulan temani malam ana. Membaca kisah yang tak sengaja bisa sampai di tangannya.
***